Stunting Sebagai Salah Satu Masalah Gizi di Indonesia

Stunting Sebagai Salah Satu Masalah Gizi di Indonesia


Menurut UU no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Tingkat kesehatan seseorang dipengaruhi beberapa faktor di antaranya bebas dari penyakit atau cacat, keadaan sosial ekonomi yang baik, keadaan lingkungan yang baik, dan status gizi juga baik. Status gizi merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal. (Kemenkes 2017).

Masalah gizi pada dasarnya merupakan refleksi konsumsi zat gizi yang belum mencukupi kebutuhan tubuh.. Asupan gizi yang kurang dalam makanan, dapat menyebabkan kekurangan gizi, sebaliknya orang yang asupan gizinya berlebih akan menderita gizi lebih. Jadi status gizi adalah gambaran individu sebagai akibat dari asupan gizi sehari-hari. Status gizi dapat diketahui melalui pengukuran beberapa parameter, kemudian hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan standar atau rujukan. (Kemenkes 2017).

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan penurunan kecepatan pertumbuhan dan merupakan dampak dari ketidakseimbangan gizi. Menurut World Health Organization (WHO) Child Growth Standart, stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD. Stunting pada masa kanak-kanak menjadi beban biaya dan ekonomi. Hal ini karena akan meningkatkan risiko kematian anak, berdampak buruk pada perkembangan anak dan kapasitas belajar, meningkatkan risiko penyakit infeksi dan penyakit tidak menular, serta menurunkan produktivitas dan kemampuan ekonomi di masa dewasa.. Mengurangi stunting pada masa kanak-kanak menjadi tujuan pertama dari enam tujuan dalam Target Gizi Global untuk 2025 dan indikator utama dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) kedua untuk Achieve Zero Hunger (Wicaksono dan Harsanti, 2020)

Masalah stunting dialami oleh sebagian besar anak di negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi di Asia seperti India (38,4% 2015), Pakistan (45% 2012), Bangladesh (36,1% , 2014), Malaysia (20,7% 2016), Philipina, Thailand (10,5% 2017) dan Indonesia (30,8%, 2018) (Budiastutik dan Rahfiluddin, 2020). Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) Indonesia berada di peringkat 115 dari 150 negara di dunia. Dari hasil Survey Status Gizi Indonesi (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4%, turun sebesar 3,3% dari hasil SSGI tahun 2019 yaitu sebesar 27,7% (Purnamaningrum dkk,2021).

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita

A. Asupan Energi dan Protein 

 Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menye­babkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan seperti terlihat pada gambar di bawah ini (Pusdatin Kemenkes, 2017).

B. Penyakit Infeksi

Pengurangan status gizi terjadi karena asupan gizi yang kurang dan sering terjadinya infeksi. Jadi faktor lingkungan, keadaan dan perilaku keluarga yang mempermudah infeksi berpengaruh pada status gizi balita (Trihono dkk, 2015).

Kenyataannya malnutris dan infeksi sering terjadi bersamaan. Keduanya saling mempengaruhi yang akhirnya mengarah kepada lingkaran setan. Hubungan malnutrisi dan infeksi dapat dilihat pada gambar berikut ini

Gambar 1. Hubungan Infeksi dan Malnutrisi


C. Pemberian ASI Eksklusif

ASI merupakan sumber makanan yang penting bagi kesehatan bayi. ASI dapat memenuhi tiga perempat dari kebutuhan protein bayi usia 6 – 12 bulan, selain ASI juga mengandung semua jenis asam amino essensial yang dibutuhkan. Dengan demikian ASI merupakan bentuk makan yang ideal karena sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi selam enam bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan.

Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama lebih tinggi pada kelompok balita stunting (88,2%) dibandingkan dengan kelompok balita normal (61,8%). Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting dengan OR sebesar 4,643. (Ni’mah dan Nadhiroh, 2015). 

 Dari studi yang dilakukan oleh Agustia dkk tahun 2018 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara ASI eksklusif dan stunting. Dapat disimpulkan bahwa balita yang tidak mendapat ASI eksklusif memiliki risiko untuk menjadi stunting sebesar 4,659 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif. (Agustia,2018). Hasil ini juga sejalan yang dilakukan oleh Rajan dkk (2012) dan Fikadu dkk (2014) dalam Agustia 2018 yang menyatakan bahwa anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko untuk mengalami stunting sebesar 6,9 kali dan 3,27 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang mendapat ASI eksklusif (Agustia, 2018). 

D. Status Imunisasi

Imunisasi adalah upaya untuk menimbulkan dan meningkatkan kekebalan terhadap penyakit pada bayi. Imunisasi harus diberikan kepada bayi dan anak balita serta anak usia sekolah dasar/sederajat.Tidak lengkapnya imunisasi menyebabkan balita menjadi lemah sehingga mudah untuk terserang penyakit infeksi. Anak yang mengalami infeksi jika dibiarkan dapat beresiko mengalami stunting (Agustia dkk, 2018).

Pada penelitian didapatkan hasil OR 3,85 yang menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap berisiko 3,85 kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang mendapatkan imunisasi lengkap (Agustia dkk, 2018).

Tabel 1. Faktor Resiko Stunting Pada Balita


E. Berat Badan Lahir

Dari penelitian di Filipina balita yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram, memiliki resiko 3,82 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan normal. Selanjutnya, faktor risiko berat badan lahir kurang dari 2.500 gram memiliki p value = <0,001. Hal ini berarti faktor risiko berat badan lahir kurang dari 2.500 gram memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Filipina (Apriluana, 2018).

Penelitian lain di Indonesia menemukan bahwa balita dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram dengan hasil uji statistik dengan menggunakan uji regresi logistik menunjukkan p value = 0,047. Hal ini berarti faktor risiko berat badan lahir kurang dari 2.500 gram juga memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Indonesia (Apriluana, 2018).

F. Panjang Badan Lahir

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kulon Progo bahwa panjang lahir pada bayi jika kurang dari 48 cm akan berisiko mengalami stunting pada waktu yang akan datang, berdasarkan penelitian di India bayi yang lahir dengan panjang badan kecil berisiko stunting, penelitian di Depok diketahui bahwa panjang lahir bayi pendek berisiko terhadap anak stunting dikemudian hari, penelitian yang dilakukan Friska dkk menemukan bahwa panjang lahir pendek berisiko 16,4 kali mengalami stunting (Budihastutik, 2019).

G. Pendidikan Orang Tua

 Berdasarkan data penelitian dari Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan ibu, yaitu ibu yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar dan ibu yang menyelesaikan sekolah menengah atas. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio untuk balita dengan berat badan kurang dari 2.500 gram adalah 1,67 (95 % CI 1,13-2,47). Hal ini berarti bahwa balita dengan ibu yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar memiliki risiko mengalami stunting sebesar 1,67 kali dibandingkan ibu yang menyelesaikan sekolah menengah atas. Selanjutnya, faktor risiko ibu yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar memiliki p value = <0,001. Hal ini berarti faktor risiko ibu yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Indonesia (Apriluana, 2018).

H. Status Ekonomi

Stunting menunjukkan hubungan ketergantungan usia di antara anak-anak terutama usia antara 1-6 tahun, dengan makan yang tidak adekuat atau adanya penyakit berulang atau penyakit kronis (Apriluana, 2018).

Pada Riskesdas 2013, status ekonomi penduduk dinilai berdasarkan indikator kepemilikan rumah tangga yang sudah dinilai keabsahannya dengan status ekonomi yang dilakukan menurut Susenas berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita. Status ekonomi penduduk diklasifikasikan menjadi lima yaitu: i) Kuintil 1 – terbawah; ii) Kuintil 2 – Menengah Bawah; iii) Kuintil 3 – Menengah; iv) Kuintil 4 – Menengah Atas; dan v) Kuintil 5 – Teratas. (Laporan Riskesdas, Litbangkes, 2013) (Trihono dkk, 2015).

Korelasi dan analisis regresi dilakukan pada kelompok penduduk kuintil 1 dan kuintil 5 dengan status gizi pendek pada balita. Plot 1 dan 2 adalah korelasi prevalensi stunting pada balita untuk masing-masing kuintil 1 dan kuintil 5. Jika kondisi penduduk dengan status ekonomi terendah, tampak prevalensi pendek pada balita akan naik 0,19 persen dengan sifat hubungan positif. Sedangkan pada kelompok penduduk dengan status ekonomi teratas prevalensi balita pendek akan lebih rendah 0,26 persen dengan sifat hubungan negatif ) (Trihono dkk, 2015).

G. Pendidikan Orang Tua

 Berdasarkan data penelitian dari Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan ibu, yaitu ibu yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar dan ibu yang menyelesaikan sekolah menengah atas. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio untuk balita dengan berat badan kurang dari 2.500 gram adalah 1,67 (95 % CI 1,13-2,47). Hal ini berarti bahwa balita dengan ibu yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar memiliki risiko mengalami stunting sebesar 1,67 kali dibandingkan ibu yang menyelesaikan sekolah menengah atas. Selanjutnya, faktor risiko ibu yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar memiliki p value = <0,001. Hal ini berarti faktor risiko ibu yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Indonesia (Apriluana, 2018).

H. Status Ekonomi

Stunting menunjukkan hubungan ketergantungan usia di antara anak-anak terutama usia antara 1-6 tahun, dengan makan yang tidak adekuat atau adanya penyakit berulang atau penyakit kronis (Apriluana, 2018).

Pada Riskesdas 2013, status ekonomi penduduk dinilai berdasarkan indikator kepemilikan rumah tangga yang sudah dinilai keabsahannya dengan status ekonomi yang dilakukan menurut Susenas berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita. Status ekonomi penduduk diklasifikasikan menjadi lima yaitu: i) Kuintil 1 – terbawah; ii) Kuintil 2 – Menengah Bawah; iii) Kuintil 3 – Menengah; iv) Kuintil 4 – Menengah Atas; dan v) Kuintil 5 – Teratas. (Laporan Riskesdas, Litbangkes, 2013) (Trihono dkk, 2015).

Korelasi dan analisis regresi dilakukan pada kelompok penduduk kuintil 1 dan kuintil 5 dengan status gizi pendek pada balita. Plot 1 dan 2 adalah korelasi prevalensi stunting pada balita untuk masing-masing kuintil 1 dan kuintil 5. Jika kondisi penduduk dengan status ekonomi terendah, tampak prevalensi pendek pada balita akan naik 0,19 persen dengan sifat hubungan positif. Sedangkan pada kelompok penduduk dengan status ekonomi teratas prevalensi balita pendek akan lebih rendah 0,26 persen dengan sifat hubungan negatif ) (Trihono dkk, 2015).

Kesimpulan

Masalah stunting dialami oleh sebagian besar anak di negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Stunting akan meningkatkan risiko kematian anak, berdampak buruk pada perkembangan anak dan kapasitas belajar, meningkatkan risiko penyakit infeksi dan penyakit tidak menular, serta menurunkan produktivitas dan kemampuan ekonomi di masa dewasa.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian stunting  pada anak seperti jumlah asupan kalori dan protein seta penyakit infeksi yang merupakan penyebab langsung. Selain itu juga ada faktor lain yang turut berperan yaitu pemberian ASI eksklusif, status imunisasi, pendidikan dan pengetahuan orang tua, status ekonomi, berat dan panjang badan lahir. Mengurangi stunting pada masa kanak-kanak menjadi tujuan pertama dari enam tujuan dalam Target Gizi Global untuk 2025 dan indikator utama dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) kedua untuk Achieve Zero Hunger.

Kembali ke Atas